Sains, Teknologi, Seni dan Budaya

Posts tagged ‘Ki Nartosabdho; Bentuk Pakeliran’

Bentuk Pakeliran KNS

Sumber: http://staff.undip.ac.id/sastra/dhanang/2010/11/22/dari-pakeliran-adiluhung-ke-pakeliran-glamor-spektakulerpertunjukan-wayang-kulit-purwa-gaya-surakarta-dalam-perubahan-budaya/

Ki Nartosabdho (1925-1985) adalah seorang dhalang yang kali pertama melakukan semacam desakralisasi dan dekonstruksi pakem pedhalangan. Baginya pakem merupakan buku tuntunan bagi para siswa atau pemula yang ingin menjadi dhalang. Oleh karena itu, dengan berbekal kemampuan dan kreativitasnya, dhalang dapat menafsirkan kembali pakem sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam pandangan Ki Nartosabdho, pakem tidak berbeda dari guide book atau texts book bagi para mahasiswa di perguruan tinggi yang mendalami ilmu tertentu; dan apabila telah menjadi sarjana mereka dapat mengembangkan ilmu yang dipelajarinya.

Pada awal kiprahnya sebagai dhalang, gaya pakeliran Ki Nartosabdho mengacu pada gaya pakeliran gurunya, Ki Pujo Sumarto. Dengan kata lain, pola pakeliran-nya pada saat itu masih lekat dengan pakem gaya keraton Surakarta (Sumanto, 2002: 58-59). Dalam unsur pakeliran tertentu, misalnya sanggit, ia juga mengacu pada gaya pakeliran Ki Wignyo Sutarno. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gaya pakeliran Ki Nartosabdho semula merupakan gabungan dari kedua dhalang tersebut.

Dalam perkembangan, sejak kemunculannya di Radio Republik Indonesia Jakarta pada 1958, Ki Nartosabdho telah menampilkan pakeliran yang berbeda, yaitu bentuk pakeliran yang bernuansa segar melalui berbagai pembaharuan yang dilakukannya. Ia meletakkan jembatan penghubung antara pakeliran gaya Surakarta dan Yogyakarta yang pada waktu itu sedang mengalami ketegangan kultural. Walaupun wujud pakeliran Ki Nartosabdho bertumpu pada gaya Surakarta, namun ia menggunakan pula unsur-unsur pedhalangan gaya Yogyakarta, misalnya dalam beberapa jenis sulukan, gendhing, dan keprakan. Ia juga memanfaatkan gendhing-gendhing dan garap karawitan dari daerah lain seperti Jawa Timuran, Banyumasan, Pasundan, dan Bali. Selain itu, ia memasukkan idiom-idiom gendhing bedhayan, musik keroncong, langgam Jawa, dan bahkan musik pop dangdut ke dalam garap karawitan[10] (Sumanto, 2002: 3; Murtiyoso, et al.., 1998: 29-32). Ia menggunakan janturan inkonvensional dan perwatakan tokoh-tokoh dengan penekanan pada dimensi kemanusiaannya (Wirosardjono, 1993: 67; Soemanto, 2002: 3).

Kemampuan Ki Nartosabdho dalam mengontekstualisasikan lakon baku dan carangan melalui penggarapan sanggit dan pemusatan ekspresi dalam dialog wayang (antawacana), dinilai oleh banyak kalangan pedhalangan dan masyarakat pecinta wayang telah berhasil memunculkan warna baru dalam dramatisasi pakeliran (Wirosardjono, 1993: 67; Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, 2007: 262). Dalam hal lakon, ia menciptakan lakon banjaran (biografi tokoh pewayangan) yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh para dhalang, misalnya: Banjaran Bisma, Banjaran Karna, Banjaran Bima, Banjaran Arjuna, dan Banjaran Gathutkaca. Ia juga menggubah lakon-lakon yang tidak lazim dipergelarkan dalam pakeliran wayang kulit purwa seperti lakon Sakuntala, Sawitri, dan Damayanti. Pola pengaturan panggung juga tidak luput dari jamahan perubahan. Pesindhen, yang pada umumnya berjumlah tiga orang dan duduk di belakang dhalang di samping pemain gender, pengrebab atau pengendhang, dipindahkan tempat duduknya ke sebelah kanan dhalang dan tetap menghadap ke arah dhalang (bandingkan dengan Sumanto, 2002: 4-5). Pembaharuan ini telah melahirkan seni pedhalangan yang oleh pengamat disebut dengan gaya Nartosabdho (Nartosabdhan).

Walaupun Ki Nartosabdho telah melakukan perubahan-perubahan pakeliran, namun menurut penilaian Murtiyoso (2007: 54), ia merupakan salah seorang dhalang maestro terakhir yang mampu menggarap pakeliran secara seimbang (ora bot sih) dengan empat bingkai yang telah disebut di atas, yaitu: moral, peribadatan, keindahan seni, dan hiburan. Banyak dhalang ingin mengikuti jejak keberhasilan Ki Nartosabdho. Namun akibat keterbatasan kemampuan, mereka pada umumnya hanya meniru humor (banyolan) saja; sedangkan aspek-aspek penting dari pakeliran seperti sanggit dan karawitan pedhalangan kurang mendapat perhatian. Kondisi itu menimbulkan keprihatinan di kalangan para pengamat seni pedhalangan, karena tidak ada keseimbangan antara aspek yang bersifat pokok dan yang bersifat teknis.

Menurut S.D. Humardani (1923-1983), yang menjabat sebagai Ketua Pusat Kesenian Jawa Tengah (1969-1983) dan Ketua Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta (1975-1983), situasi pakeliran pada dekade 1970-an dan 1980-an sangat mengkhawatirkan. Selain dipenuhi dengan “titipan” dari berbagai pihak, pakeliran pada periode itu juga dijejali dengan humor yang kurang relevan. Sebagai akibatnya, pakeliran (wadah) menjadi tidak sesuai dengan pesan pokok yang hendak disampaikan (isi). Kondisi itu menurut penilaian Humardani telah menyebabkan jagad pakeliran mengalami proses pendangkalan mutu yang kronis. Kritik terhadap pakeliran semalam suntuk itu kemudian memicu munculnya gagasan tentang pakeliran padat. Tujuan utama penggarapan pakeliran padat adalah untuk mengembalikan fungsi pokok pakeliran sebagai sajian estetis dan artistik. Pakeliran padat dengan demikian mengutamakan kesesuaian antara wadah/ bentuk dan isi dengan cara memaksimalkan kekuatan unsur-unsur garap pakeliran. Oleh karena itu, penggarapan pakeliran padat harus berpangkal pada tema dasar, garap lakon, garap adegan, garap tokoh, garap catur, garap sabet, dan garap karawitan pakeliran (Sudarko, 2003: 69).

Setelah pakeliran padat terbentuk, Humardani berusaha memperkenalkannya baik kepada kalangan dhalang, budayawan, maupun masyarakat pecinta wayang melalui forum sarasehan, lokakarya, lomba naskah, lomba penyajian pakeliran padat, dan siaran radio maupun televisi. Pakeliran padat tidak berpretensi untuk menggeser kedudukan pakeliran semalam-suntuk, melainkan untuk memperkaya kehidupan budaya. Bentuk pakeliran padat masih tetap menggunakan vokabuler-vokabuler pakeliran semalam suntuk, meskipun tidak harus selalu mengikuti secara ketat aturan-aturan yang digunakan dalam pakeliran tradisi, baik menyangkut aturan adegan, pathet, gendhing, maupun sulukan.

Setelah kemangkatan Ki Nartosabdho pada 1985, dengan mengambil inspirasi pembaharuan yang telah dilakukan oleh Ki Nartosabdho dan konsep-konsep pembaharuan tentang pakeliran padat yang digagas oleh Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta di bawah kepemimpinan S.D. Humardani (1975-1983), Ki Manteb Soedharsono berusaha melakukan pembaharuan pakeliran. Untuk kepentingan itu ia membentuk tim kreatif yang terdiri atas seniman akademisi dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)—sekarang menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Dengan tidak mengabaikan garap pakeliran yang lain, misalnya sanggit dan iringan pakeliran, Ki Manteb Soedharsono dengan gemilang telah mampu menggeser peran bahasa dan antawacana dengan menekankan dimensi action dalam pergelaran wayang kulit purwa. Menurut pengakuannya, khususnya untuk sabet perang, ia mengambil inspirasi dari film-film Kung Fu. Berkat kemampuannya dalam olah sabet, Ki Mateb Soedharsono lalu mendapat julukan Maestro Sabet. Di tangannya pakeliran menjadi gegap-gempita sesuai dengan tuntutan zaman (Wirosardjono, 1993: 67; Abbas dan Subro, 1995: passim, Mrazek, 2005: 429-431). Sabet Ki Manteb Soedarsono kemudian menjadi rujukan para dhalang dari generasi berikutnya.